Langsung ke konten utama

Serenade's Story: Rembulan Dua Warna


 A Short Story written by Serenade's Home Author, Ajeng Novianty.


Banyak orang berkata bahwa hal terindah yang datang ke kehidupan adalah ketika suatu perasaan bernama kasih sayang menghampiri ke dalam diri dan lingkungan kita. Kasih sayang, terdengar begitu manis. Namun akan terdengar begitu keji jika kasih sayang yang menghampiri kita adalah kasih sayang yang palsu.
Barangkali itulah asumsiku.
Ketika banyak orang yang mendambakan, memuji, dan memuja kasih sayang; aku merasa bahwa aku berbeda 90 derajat dari hal tersebut. Aku tidak mengasumsikannya sebanyak 180 derajat, karena jauh di ujung ruangan terpojok di dalam hatiku, tentu aku mengharapkan agar diberi kasih sayang –yang tulus. Hanya saja, aku selalu merasa muak tiap kali aku mendengarkan dua kata tersebut; karena sejauh ini, yang ada dan yang aku rasakan sampai saat ini, aku hanya diberi kepalsuan oleh dua kata tersebut. Jadi, sama saja dua kata palsu tersebut ibarat seperti penjahat: sangat keji.
Ini tentang seorang laki-laki, tapi bukan kekasih atau semacamnya. Ini tentang satu laki-laki yang berpengaruh terhadap kehidupanku dari sejak aku kecil hingga nanti. Dia seorang cahaya terang bagiku, juga bagai cahaya gelap bagiku. Ada dua gradasi warna yang menjadi sisi yang berbeda dalam dirinya. Kau tahu orangnya, karena kau memilikinya.
Musim kemarau beberapa tahun yang lalu, kalau tidak salah saat aku berumur delapan atau sembilan tahun. Aku lupa tentang detail kisahnya pada saat kejadian itu. Tapi singkatnya, itulah pertama kalinya aku mendaki gunung bersama keluarga besarku –hanya sebagian maksudnya. Dan yang paling menjagaku di kala itu adalah ayahku. Sering-sering dia berkata kepadaku, “Berhati-hatilah!” ucapnya, dan aku mematuhi petuahnya.
Hanya itu yang kuingat.
Selanjutnya, sebenarnya banyak sekali hal-hal yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Namun, aku memiliki ingatan yang buruk; maksudnya, aku mudah melupakan suatu kejadian. Terkadang, seindah apapun kenangan yang aku alami dulu, itu akan mudah luntur terlupakan karena suatu masalah, apalagi jika masalahnya adalah masalah yang tidak bisa diperbaiki.
Apa? Bermain ke kebun binatang? Bermain di taman bermain? Atau berkunjung ke Monumen Nasional? Bahkan aku melupakan detail kisahnya karena kesalahan fatalnya. Namun, setidaknya aku ingat klisenya sedikit. Hah, hampir banyak orang seringkali berkunjung ke tempat-tempat tersebut, sehingga sekilas klise masih bisa kuingat jika mendengar nama tempatnya.
Tidak. Lagipula, aku bukan penikmat wisata, wajar jika aku melupakannya.
Namun ada satu klise yang aku ingat dan ingin kuutarakan. Masih ketika aku kecil. Pagi hari, aku diajak ayahku ke kantornya. Sebenarnya itu hari libur bagi pekerja kantor, namun sepertinya ayahku harus menyelesaikan suatu urusan hingga rela bekerja di hari libur. Aku ikut saat itu, sedangkan kakak dan ibuku berada di rumah. Sebenarnya, aku juga penasaran, ingin tahu rasanya berdiri di gedung pencakar langit. Haha, konyol. Maklumi, anak kecil memang penuh dengan keinginan-keinginan konyol.
Namun sungguh, ternyata membosankan berada di sana. Aku hanya terdiam; sedangkan ayahku sibuk berkutat dengan komputernya, bekerja sebagai seorang drafter dan sepertinya tidak bisa diganggu.
“Bosan.” gumamku.
Ayahku mendengar, lantas menoleh ke arahku. Atensiku melihatnya berhenti sekejap dari pekerjaanya, berdiri mengambil secarik kertas beserta alat tulisnya, “Sebentar ya. Mau menggambar?” balasnya.
Benar. setidaknya ayahku tahu minatku ke arah mana. Lantas aku mengangguk. Aku menggambar sedangkan ayahku kembali fokus terhadap pekerjaannya.
Juga, berkat pengalamanku di hari itu, aku mendapatkan ilmu baru. Biasanya aku hanya menggambar desain pakaian, pemandangan alam, atau wajah-wajah orang. Namun, karena hari itu, perlahan demi perlahan aku mulai menggeluti jenis desain yang lain, seperti: desain bangunan, denah rumah, dan seni arsitekturnya. Itu berkat ayahku pada hari itu. Bahkan terlintas pikiranku sejak saat itu, aku ingin menjadi seorang arsitektur. Aneh, cita-citaku sangat banyak, wajar; seorang anak kecil selalu tertarik dengan apa yang ia temui.
Beralih menuju dua tahun kemudian. Itu bencana besar bagiku; tidak ada liburan lagi, tidak ada waktu bermain lagi, dan tidak ada hal yang menyenangkan lainnya. Aku masih kecil, namun aku mengerti permasalahnya, makanya aku menyebutnya sebagai bencana besar. Singkatnya, keretakan rumah tangga. Entah kenapa aku bisa mengerti permasalahannya. Mungkin karena melihat kondisi ibuku, terlebih ketika ibuku menunjukkan sebuah foto wanita, “Ini calon ibu baru kamu.” katanya. Hah, miris. Peduli dunia, aku benci sikon itu. Lebih tepatnya sangat benci.
Hingga semuanya benar-benar terjadi: kebahagianku musnah, kasih sayang meluntur, aku yang merasa tidak beruntung, tapi untungnya aku tahu dan paham akan takdir. Ini takdir dari Tuhan Yang Maha Esa!. Mencoba memahaminya, bagaimana pun caranya. Kalau kata tokoh Kevin dalam sebuah film yang aku lupa judulnya apa, dia bilang bahwa; “Hidup itu hanya sementara. Kalau kau tidak suka dengan kondisimu saat itu, tinggalkan saja, tidak perlu dipertahankan. Jadi, aku mulai tak menghiraukan kondisi itu.
Namun ternyata percuma. Aku dan keluargaku tersiksa berkatnya. Pencobaan demi pencobaan datang menghampiri kita. Batinku tersiksa, hal tersebut membuat mentalku jatuh sejatuh-jatuhnya. Adapun jika aku tersenyum, sebenarnya itulah senyuman palsu. Seperti ini: dunia memberiku cinta yang palsu, jadi aku hanya perlu membalasnya dengan kepalsuan juga. Seperti kebahagian yang palsu. Tersenyum dalam penderitaan batin.
Hingga hari demi hari, pikiran dan batinku seringkali berdebat, pun deraian air mata jatuh, sedangkan aku sendirian mencoba menghentikan pertikaian batin tersebut. Ibarat di dalam sebuah film, ketika seorang manusia merasakan gundah gulana, ada dua pikiran berwujud seperti iblis berwarna merah dan putih; sedangkan si manusia mencoba mengentikan pertikaian tersebut, karena dua sisi tersebut bertikai tanpa menghasilkan keputusan yang tepat.
“Ayahmu menginginkan kebahagiaan.” kata satu sisi pikiranku.
“Apa katamu?! Menginginkan kebahagian apanya dengan malah mengorbankan keluarga, terutama anak-anaknya?!” balas satu sisi pikiranku yang lainnya.
Seolah tidak mau kalah, si pemula perdebatan kembali membalas, “Hey! Kebahagian itu berasal dari uang, bukan keluarga. wajar jika dia meninggalkan.” katanya, pikiran jahat itu terus menentang.
Aku muak dan ingin menghentikannya, tapi pikiran yang lain tidak mau kalah, “Hah, uang itu hanyalah pemicu masalah dan bukan sumber kebahagiaan! Buktinya, mereka tersiksa karena uang tersebut!” tukasnya.
Seorang anak kecil tidak mengenal hal semacam carut marut atau sumpah serapah karena muak bukan main. Tapi, yang jelas, aku hanya bisa berbaring menutupi tubuhku dan berdoa kepada Tuhan semoga kehidupan kami terus baik-baik saja dan dihindarkan dari masalah.
Tapi tidak. Sudah kubilang, pencobaan-pencobaan tersebut terus datang pada tiap-tiap sisi. Kebutuhan finansial keluargaku tidak terpenuhi dengan baik, bahkan jika Tuhan tak memberi kemurahan hatinya; kami sudah menjadi gelandangan, dan aku serta kakak-kakakku tidak dapat melanjutkan sekolah. Namun, Allah adalah Tuhan yang sangat-sangat baik. Di balik pencobaan tersebut, Tuhan masih tetap membantu kami. Walaupun sebenarnya masalah finansial kami belum berkembang dengan baik.
Ibuku berusaha memperbaiki kehidupan kami dengan bekerja, serta kakakku yang pertama juga segera bekerja setelah lulus bangku sekolah menengah atas, karena untungnya dia berasal dari sekolah kejuruan dengan jurusan keperawatan. Aku dan kakak keduaku ditinggalkan di desa setelah kami pindah. Aku mencoba melupakan masalah-masalah tersebut dengan mencari-mencari kegiatan dengan bersekolah sampai tengah hari, lalu dilanjutkan mengaji setelah sekolah hingga ba’da isya. Sedangkan kakakku malah berulah, karena seorang remaja katanya seperti itu; sedang mencari jati dirinya, terlebih ia ditimpa masalah yang sama. Sama sepertiku, tersiksa batinnya. Banyak ulahnya, hingga ia hampir dikeluarkan dari sekolah. Untungnya setelah ibuku bernegosiasi dengan pihak sekolah, kakakku tidak jadi dikeluarkan; karena alasan mengapa ia berulah dan menimbang-nimbang bahwa kakakku seorang gadis berprestasi.
Hingga masa berikutnya, ibuku tidak bisa bekerja lagi. Bukan karena sudah tua, tapi karena orang-orang jahat tersebut melakukan hal tak baik kepada ibuku. Aku sering menangis ketika mendengar dan mengingat faktanya. Ibuku tidak akan diberi jalan untuk memperoleh kesuksesan agar kami tidak bisa hidup bahagia. Bahkan membahayakan jiwa dan nyawa ibuku. Sungguh, terbuat dari apa hati mereka? Api panas?
Aku ingat terus menerus akan terornya: "Ibuku meninggal atau ibuku menjadi orang gila." Aku tanya satu kali lagi, hati mereka terbuat dari apa?!
Oh Tuhan, hentikanlah semua ini
Bukannya kami berhak mendapatkan kebahagiaan? Mereka bukan Tuhan, kenapa mereka berani sekali menyalahi takdir? Sudah cukup ibu disakiti laki-laki itu. Kenapa ia dan mereka belum juga puas menyakiti kami?
Tahun demi tahun, semuanya berubah perlahan demi perlahan. Tidak ada lagi teror dan kami mulai merasakan kebahagian. Perjuangan untuk membangun kehidupan baru terus kami capai. Kakak pertamaku sudah kuliah dan berada di semester keempat, dan bekerja untuk membantu kebutuhan finansial keluarga kami juga kebutuhan pribadinya. Kakak keduaku bekerja mengumpulkan uang supaya bisa kuliah, dan tentunya untuk membantu kebutuhan finansual keluarga juga kebutuhan pribadinya, terlebih dia berada di kota yang jauh. Dan aku, aku bersekolah sembari berjualan dan bekerja. Aku berjualan di saat sekolah, dan bekerja di hari jum’at dan sabtu; mengajar les bahasa Inggris anak-anak sekolah dasar. Gajinya tidak seberapa, tapi itu sangat membantu, untuk sekedar kebutuhan pribadi dan tabungan untuk kuliah.
Kabar baiknya, sudah berlangsung beberapa tahun ini, orang-orang yang aku anggap jahat tersebut, mulai berbaik hati –walaupun aku tidak tahu dibalik kebaikannya. Karena sungguh sulit mempercayai orang-orang yang telah menyakiti jiwa raga ibu, kakak-kakakku, dan aku.
Kini tentang ayahku, rembulan dua warna; hitam dan putih. Sosok hitam yang telah melukai ibu, kakak, dan aku. Dan sosok putih yang telah memberikan pelajaran hidup yang berarti bagi kami, yaitu tentang cinta, kasih sayang, dan perjuangan. Aku tidak akan menyalahkannya. Aku sudah memahaminya, lagipula ini sebuah takdir. Di mana Tuhan telah berkendak, itulah yang terbaik bagi kami.
Sebenarnya, orang-orang jahat tersebut adalah ayahku dan keluarga barunya. Itu mengapa aku memberi sisi hitam dalam dirinya. Tapi sudah kubilang, sekarang mereka bersikap sangat ramah. Mungkin.

END

God, im really-really craying when I wrote this. But literally, it's okay.
Well, im sorry if you were  find any typos in my story. Ill hope y'll enjoy my hystorical story.
Bye-bye!


Komentar

  1. Emang beda ya feelnya kalo baca tulisan yang beneran bagus itu... good lah mba..

    BalasHapus
  2. Gilaaa, ini aku nge feel bgt bacanya :'') iam proud of you ano, emang cerita kamu gapernah bisa bikin kecewa👍👍👍

    BalasHapus
  3. Kak Annooo, ini bagus bangeettt <3

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Summary 2: If

Name                : Ajeng Novianty NIM                  : 5190511010 Study Program : English Literature – Class A Title                  : If Written by         : Rudyard Kipling Genre                : Poem Source              :  https://www.storynory.com/if/ Summary          : ‘If’ is a poem which has a simple title, but, it has absolutely great and deep means. This poem has four couplets and overall it has 32 verses. Basically, this poem is difficult to understand. Yep! Because anyone who read the poems, with any language, so...

Serenade's Article: Roman Picisan Selalu Menjadi Kegemaran

An Article written by Serenade's Author Home, Ajeng Novianty. Menurut Jacob Somardjo, sastra yang mengacu pada tujuan hiburan dan tujuan dagang sudah mulai tumbuh di Indonesia sejak masa jaya Balai Pustaka pada tahun 1920-an, namun kebanyakan baru berupa karya-karya yang semacam roman picisan atau bahasa kasarnya; bermutu rendahan. Tidak seburuk itu, sebab karya roman picisan masih terus dinikmati oleh pencinta sastra, bahkan penikmatnya makin bertambah dari zaman ke zaman, karena kebanyakan karya bertema roman picisan memiliki alur yang sederhana dan sangat mudah untuk dipahami. Hampir cerita roman picisan selalu memuat tentang kisah percintaan dua insan yang berakhir bahagia. Hal itulah yang menjadi alasan beberapa pembaca menikmati karya roman picisan, lantaran mereka membaca hanya untuk tujuan kesenangan. Jacob Sumardjo pun menambahkan pernyataannya bahwa ketika dekade 1970-an novel populer masa itu meletakkan dasar bacaan populer berbobot yang tidak mengejar fa...

Serenade's Essay: Literasi Sebagai Kunci Kesuksesan

Akhir-akhir ini, budaya literasi diremehkan oleh pelbagai pihak, baik dari kalangan masyarakat awam atau yang tidak tahu apa-apa, kalangan menengah, sampai ke kalangan atas yang kita sebut mereka yang sudah berpendidikan atas namun belum cukup kesadaran untuk melestarikan budaya literasi yang amat sangat penting ini. Menurut Goody (1999) dalam pengertiannya, literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis yang dilakukan seseorang dalam menggambarkan fenomena sosial secara ilmiah. Dalam hal ini, sudah jelas bahwa literasi adalah suatu budaya yang patut untuk dijaga dan dilestarikan lantaran literasi sendiri adalah fenomena sosial atau kegiatan yang sangat berguna bagi pelakunya. Dengan adanya budaya literasi, pelaku budaya literasi itu sendiri dapat banyak mendapatkan income yang amat berguna, seperti bertambahnya ilmu wawasan dan pengetahuan. Sebab hampir 80-90 persen pengetahuan itu didapat dari membaca. Kendati demikian, pengetahuan yang kita miliki tentu sangat berg...