Banyak orang berkata bahwa hal terindah yang datang ke
kehidupan adalah ketika suatu perasaan bernama kasih sayang menghampiri ke dalam diri dan lingkungan kita. Kasih
sayang, terdengar begitu manis. Namun akan terdengar begitu keji jika kasih
sayang yang menghampiri kita adalah kasih sayang yang palsu.
Barangkali itulah asumsiku.
Ketika banyak orang yang mendambakan, memuji, dan
memuja kasih sayang; aku merasa bahwa aku berbeda 90 derajat dari hal tersebut.
Aku tidak mengasumsikannya sebanyak 180 derajat, karena jauh di ujung ruangan
terpojok di dalam hatiku, tentu aku mengharapkan agar diberi kasih sayang –yang tulus. Hanya saja, aku selalu
merasa muak tiap kali aku mendengarkan dua kata tersebut; karena sejauh ini,
yang ada dan yang aku rasakan sampai saat ini, aku hanya diberi kepalsuan oleh
dua kata tersebut. Jadi, sama saja dua kata palsu tersebut ibarat seperti penjahat:
sangat keji.
Ini tentang seorang laki-laki, tapi bukan kekasih atau
semacamnya. Ini tentang satu laki-laki yang berpengaruh terhadap kehidupanku
dari sejak aku kecil hingga nanti. Dia seorang cahaya terang bagiku, juga bagai
cahaya gelap bagiku. Ada dua gradasi warna yang menjadi sisi yang berbeda dalam
dirinya. Kau tahu orangnya, karena kau memilikinya.
Musim kemarau beberapa tahun yang lalu, kalau tidak
salah saat aku berumur delapan atau sembilan tahun. Aku lupa tentang detail
kisahnya pada saat kejadian itu. Tapi singkatnya, itulah pertama kalinya aku
mendaki gunung bersama keluarga besarku –hanya sebagian maksudnya. Dan yang
paling menjagaku di kala itu adalah ayahku. Sering-sering dia berkata kepadaku,
“Berhati-hatilah!” ucapnya, dan aku mematuhi petuahnya.
Hanya itu yang kuingat.
Selanjutnya, sebenarnya banyak sekali hal-hal yang
terjadi beberapa waktu ke belakang. Namun, aku memiliki ingatan yang buruk;
maksudnya, aku mudah melupakan suatu kejadian. Terkadang, seindah apapun
kenangan yang aku alami dulu, itu akan mudah luntur terlupakan karena suatu
masalah, apalagi jika masalahnya adalah masalah yang tidak bisa diperbaiki.
Apa? Bermain ke kebun binatang? Bermain di taman
bermain? Atau berkunjung ke Monumen Nasional? Bahkan aku melupakan detail
kisahnya karena kesalahan fatalnya. Namun, setidaknya aku ingat klisenya
sedikit. Hah, hampir banyak orang seringkali berkunjung ke tempat-tempat
tersebut, sehingga sekilas klise masih bisa kuingat jika mendengar nama
tempatnya.
Tidak. Lagipula, aku bukan penikmat wisata, wajar jika
aku melupakannya.
Namun ada satu klise yang aku ingat dan ingin
kuutarakan. Masih ketika aku kecil. Pagi hari, aku diajak ayahku ke kantornya.
Sebenarnya itu hari libur bagi pekerja kantor, namun sepertinya ayahku harus
menyelesaikan suatu urusan hingga rela bekerja di hari libur. Aku ikut saat
itu, sedangkan kakak dan ibuku berada di rumah. Sebenarnya, aku juga penasaran,
ingin tahu rasanya berdiri di gedung pencakar langit. Haha, konyol. Maklumi,
anak kecil memang penuh dengan keinginan-keinginan konyol.
Namun sungguh, ternyata membosankan berada di sana.
Aku hanya terdiam; sedangkan ayahku sibuk berkutat dengan komputernya, bekerja
sebagai seorang drafter dan
sepertinya tidak bisa diganggu.
“Bosan.” gumamku.
Ayahku mendengar, lantas menoleh ke arahku. Atensiku
melihatnya berhenti sekejap dari pekerjaanya, berdiri mengambil secarik kertas
beserta alat tulisnya, “Sebentar ya. Mau menggambar?” balasnya.
Benar. setidaknya ayahku tahu minatku ke arah mana.
Lantas aku mengangguk. Aku menggambar sedangkan ayahku kembali fokus terhadap
pekerjaannya.
Juga, berkat pengalamanku di hari itu, aku mendapatkan
ilmu baru. Biasanya aku hanya menggambar desain pakaian, pemandangan alam, atau
wajah-wajah orang. Namun, karena hari itu, perlahan demi perlahan aku mulai
menggeluti jenis desain yang lain, seperti: desain bangunan, denah rumah, dan
seni arsitekturnya. Itu berkat ayahku pada hari itu. Bahkan terlintas pikiranku
sejak saat itu, aku ingin menjadi seorang arsitektur. Aneh, cita-citaku sangat
banyak, wajar; seorang anak kecil selalu
tertarik dengan apa yang ia temui.
Beralih menuju dua tahun kemudian. Itu bencana besar
bagiku; tidak ada liburan lagi, tidak ada waktu bermain lagi, dan tidak ada hal
yang menyenangkan lainnya. Aku masih kecil, namun aku mengerti permasalahnya,
makanya aku menyebutnya sebagai bencana besar. Singkatnya, keretakan rumah
tangga. Entah kenapa aku bisa mengerti permasalahannya. Mungkin karena melihat
kondisi ibuku, terlebih ketika ibuku menunjukkan sebuah foto wanita, “Ini calon
ibu baru kamu.” katanya. Hah, miris.
Peduli dunia, aku benci sikon itu. Lebih tepatnya sangat benci.
Hingga semuanya benar-benar terjadi: kebahagianku
musnah, kasih sayang meluntur, aku yang merasa tidak beruntung, tapi untungnya
aku tahu dan paham akan takdir. Ini takdir dari Tuhan Yang Maha Esa!. Mencoba
memahaminya, bagaimana pun caranya. Kalau kata tokoh Kevin dalam sebuah film
yang aku lupa judulnya apa, dia bilang bahwa; “Hidup itu hanya sementara. Kalau kau tidak suka dengan kondisimu saat itu,
tinggalkan saja, tidak perlu dipertahankan.” Jadi, aku mulai tak menghiraukan kondisi
itu.
Namun ternyata percuma. Aku dan keluargaku tersiksa
berkatnya. Pencobaan demi pencobaan datang menghampiri kita. Batinku tersiksa,
hal tersebut membuat mentalku jatuh sejatuh-jatuhnya. Adapun jika aku
tersenyum, sebenarnya itulah senyuman palsu. Seperti ini: dunia memberiku cinta
yang palsu, jadi aku hanya perlu membalasnya dengan kepalsuan juga. Seperti
kebahagian yang palsu. Tersenyum dalam penderitaan batin.
Hingga hari demi hari, pikiran dan batinku seringkali
berdebat, pun deraian air mata jatuh, sedangkan aku sendirian mencoba
menghentikan pertikaian batin tersebut. Ibarat di dalam sebuah film, ketika
seorang manusia merasakan gundah gulana, ada dua pikiran berwujud seperti iblis
berwarna merah dan putih; sedangkan si manusia mencoba mengentikan pertikaian
tersebut, karena dua sisi tersebut bertikai tanpa menghasilkan keputusan yang
tepat.
“Ayahmu menginginkan kebahagiaan.” kata satu sisi
pikiranku.
“Apa katamu?! Menginginkan kebahagian apanya dengan
malah mengorbankan keluarga, terutama anak-anaknya?!” balas satu sisi pikiranku
yang lainnya.
Seolah tidak mau kalah, si pemula perdebatan kembali
membalas, “Hey! Kebahagian itu berasal dari uang, bukan keluarga. wajar jika
dia meninggalkan.” katanya, pikiran jahat itu terus menentang.
Aku muak dan ingin menghentikannya, tapi pikiran yang
lain tidak mau kalah, “Hah, uang itu hanyalah pemicu masalah dan bukan sumber
kebahagiaan! Buktinya, mereka tersiksa karena uang tersebut!” tukasnya.
Seorang anak kecil tidak mengenal hal semacam carut
marut atau sumpah serapah karena muak bukan main. Tapi, yang jelas, aku hanya
bisa berbaring menutupi tubuhku dan berdoa kepada Tuhan semoga kehidupan kami
terus baik-baik saja dan dihindarkan dari masalah.
Tapi tidak. Sudah kubilang, pencobaan-pencobaan
tersebut terus datang pada tiap-tiap sisi. Kebutuhan finansial keluargaku tidak
terpenuhi dengan baik, bahkan jika Tuhan tak memberi kemurahan hatinya; kami
sudah menjadi gelandangan, dan aku serta kakak-kakakku tidak dapat melanjutkan
sekolah. Namun, Allah adalah Tuhan yang sangat-sangat baik. Di balik pencobaan
tersebut, Tuhan masih tetap membantu kami. Walaupun sebenarnya masalah
finansial kami belum berkembang dengan baik.
Ibuku berusaha memperbaiki kehidupan kami dengan
bekerja, serta kakakku yang pertama juga segera bekerja setelah lulus bangku
sekolah menengah atas, karena untungnya dia berasal dari sekolah kejuruan
dengan jurusan keperawatan. Aku dan kakak keduaku ditinggalkan di desa setelah
kami pindah. Aku mencoba melupakan masalah-masalah tersebut dengan
mencari-mencari kegiatan dengan bersekolah sampai tengah hari, lalu dilanjutkan
mengaji setelah sekolah hingga ba’da
isya. Sedangkan kakakku malah berulah, karena seorang remaja katanya
seperti itu; sedang mencari jati dirinya, terlebih ia ditimpa masalah yang
sama. Sama sepertiku, tersiksa batinnya. Banyak ulahnya, hingga ia hampir
dikeluarkan dari sekolah. Untungnya setelah ibuku bernegosiasi dengan pihak
sekolah, kakakku tidak jadi dikeluarkan; karena alasan mengapa ia berulah dan
menimbang-nimbang bahwa kakakku seorang gadis berprestasi.
Hingga masa berikutnya, ibuku tidak bisa bekerja lagi.
Bukan karena sudah tua, tapi karena orang-orang jahat tersebut melakukan hal
tak baik kepada ibuku. Aku sering menangis ketika mendengar dan mengingat
faktanya. Ibuku tidak akan diberi jalan untuk memperoleh kesuksesan agar kami
tidak bisa hidup bahagia. Bahkan membahayakan jiwa dan nyawa ibuku. Sungguh,
terbuat dari apa hati mereka? Api panas?
Aku ingat terus menerus akan terornya: "Ibuku meninggal atau ibuku menjadi orang gila." Aku
tanya satu kali lagi, hati mereka terbuat dari apa?!
Oh
Tuhan, hentikanlah semua ini.
Bukannya kami berhak mendapatkan kebahagiaan? Mereka bukan Tuhan, kenapa mereka
berani sekali menyalahi takdir? Sudah cukup ibu disakiti laki-laki itu. Kenapa
ia dan mereka belum juga puas menyakiti kami?
Tahun demi tahun, semuanya berubah perlahan demi
perlahan. Tidak ada lagi teror dan kami mulai merasakan kebahagian. Perjuangan
untuk membangun kehidupan baru terus kami capai. Kakak pertamaku sudah kuliah
dan berada di semester keempat, dan bekerja untuk membantu kebutuhan finansial
keluarga kami juga kebutuhan pribadinya. Kakak keduaku bekerja mengumpulkan
uang supaya bisa kuliah, dan tentunya untuk membantu kebutuhan finansual
keluarga juga kebutuhan pribadinya, terlebih dia berada di kota yang jauh. Dan
aku, aku bersekolah sembari berjualan dan bekerja. Aku berjualan di saat
sekolah, dan bekerja di hari jum’at dan sabtu; mengajar les bahasa Inggris
anak-anak sekolah dasar. Gajinya tidak seberapa, tapi itu sangat membantu,
untuk sekedar kebutuhan pribadi dan tabungan untuk kuliah.
Kabar baiknya, sudah berlangsung beberapa tahun ini,
orang-orang yang aku anggap jahat tersebut, mulai berbaik hati –walaupun aku tidak tahu dibalik kebaikannya.
Karena sungguh sulit mempercayai orang-orang yang telah menyakiti jiwa raga
ibu, kakak-kakakku, dan aku.
Kini tentang ayahku, rembulan dua warna; hitam dan
putih. Sosok hitam yang telah melukai ibu, kakak, dan aku. Dan sosok putih yang
telah memberikan pelajaran hidup yang berarti bagi kami, yaitu tentang cinta,
kasih sayang, dan perjuangan. Aku tidak akan menyalahkannya. Aku sudah
memahaminya, lagipula ini sebuah takdir. Di mana Tuhan telah berkendak, itulah
yang terbaik bagi kami.
Sebenarnya, orang-orang jahat tersebut adalah ayahku
dan keluarga barunya. Itu mengapa aku memberi sisi hitam dalam dirinya. Tapi
sudah kubilang, sekarang mereka bersikap sangat ramah. Mungkin.
END
God, im really-really craying when I wrote this. But literally, it's okay.
Well, im sorry if you were find any typos in my story. Ill hope y'll enjoy my hystorical story.
Bye-bye!
Emang beda ya feelnya kalo baca tulisan yang beneran bagus itu... good lah mba..
BalasHapusGilaaa, ini aku nge feel bgt bacanya :'') iam proud of you ano, emang cerita kamu gapernah bisa bikin kecewa👍👍👍
BalasHapusKak Annooo, ini bagus bangeettt <3
BalasHapus